Total Tayangan Halaman

Minggu, 27 Januari 2013

DAMPAK KONFLIK PERKEBUNAN TERHADAP PERUSAHAAN

DAMPAK KONFLIK PERKEBUNAN TERHADAP PERUSAHAAN 1. Pendahuluan Sebagai salah satu subsektor penting dalam sektor pertanian, perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dengan menyerap banyak tenaga kerja. Perkebunan juga merupakan salah satu subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto, sehingga mempunyai peran strategis dalam pertumbuhan ekonomi. Definisi Perkebunan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Sebagaimana Penjelasan UU Perkebunan menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang bercorak agraris; bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan potensi yang sangat besar untuk pengembangan perkebunan dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, perkebunan harus diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. Berikut penjelasannya: 1. Yang dimaksud dengan asas manfaat dan berkelanjutan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memperhatikan kondisi sosial budaya. 2. Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dilakukan dengan memadukan subsistem produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil perkebunan. 3. Yang dimaksud dengan asas kebersamaan adalah bahwa agar dalam setiap penyelenggaraan perkebunan menerapkan kemitraan secara terbuka sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antar pelaku usaha perkebunan. 4. Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. 5. Yang dimaksud dengan asas berkeadilan adalah bahwa agar dalam setiap penyelenggaraan perkebunan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. Bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan nasional, antardaerah, antarwilayah, antarsektor, dan antar pelaku usaha perkebunan. Perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pengembangan perkebunan dilaksanakan berdasarkan kultur teknis perkebunan dalam kerangka pengelolaan yang mempunyai manfaat ekonomi terhadap sumber daya alam yang berkesinambungan. Pengembangan perkebunan yang berkesinambungan tersebut akan memberikan manfaat peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara optimal, melalui kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya alam, modal, informasi, teknologi, dan manajemen. Akses tersebut harus terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, akan tercipta hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara pelaku usaha perkebunan, masyarakat sekitar, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya serta terciptanya integrasi pengelolaan perkebunan sisi hulu dan sisi hilir . Penyelenggaraan perkebunan yang demikian sejalan dengan amanat dan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha baik perorangan maupun perusahaan perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perkebunan mempunyai fungsi: a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Penyelenggaraan perkebunan berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa dimaksudkan bahwa penerapan kemitraan usaha perkebunan serta kesamaan budaya agraris mampu menciptakan kondisi saling ketergantungan, keterkaitan secara sinergis antarpelaku usaha maupun antar wilayah. Pada umumnya konflik perkebunan terjadi antara perusahaan dengan perorangan, maupun dengan kelompok masyarakat sekitar perkebunan. Konflik perkebunan yang mendominasi perusahaan perkebunan saat ini adalah mengenai Konflik pertanahan. Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah merupakan unsure wilayah dalam kedaulatan Negara. Oleh karena itu, tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religious, yang harus dijaga, dikelola, dan dimanfaatkan dengan baik. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyakarat dan Negara. Menurut Bernhard Limbong , Konflik selalu ada di masyarakat dan senantiasa melekat dalam diri setiap masyarakat. Oleh karena itu, dimana ada masyarakat maka aka nada potensi untuk munculnya konflik, sedangkan yang dapat dilakukan manusia hanyalah mengatur dan mengendalikan konflik agar tidak terjadi dalam berbagai kekuatan yang akhirnya terakumulasi dalam bentuk kekerasan (violence). Penanganan konflik pertanahan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Selain itu, proses ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pemanfaatan, tumpang tindih penggunaan, tumpang tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan tanah. Pada umumnya konflik pertanahan ini terjadi disebabkan oleh Okupasi dan tuntutan kelompok atas areal perkebunan. Menurut data Badan Pertanahan Nasional jumlah kasus sengketa agraria sebanyak 7491 mencakup luas lahan 7491 hektar tetapi yang baru dapat diselesaikan sebanyak 1778 Kasus (Renstra BPN 2012-2014) 2. Pembahasan A. Definisi Konflik Menurut Ronny Hanitijo, sengketa atau konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. Menurut Joni Emirzon, Sengketa/konflik/perselisihan/percekcokan adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama. Menurut J.G. Merrilis, sengketa adalah perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari pihak lain Dengan demikian, dalam suatu konflik terdapat beberapa unsur : 1. Dalam suatu sengketa selalu melibatkan dua pihak atau lebih. 2. Pihak yang satu menghendaki pihak yang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu 3. Pihak lain yang diminta untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu itu menolak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Menurut Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan penyelesaian Masalah Pertanahan, konflik adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. B. Tipologi Konflik Perkebunan Berikut konflik penguasaan tanah dan sumber daya di sektor perkebunan yang disebut dengan konflik perkebunan baik berbasis aktor atau pokok masalah. B.1. Tipologi berbasis aktor : 1. Konflik antara BUMN perkebunan dengan masyarakat; 2. Konflik antara perusahaan perkebunan swasta-baik yang memegang HGU maupun tidak- dengan masyarakat; 3. Konflik antar petani dengan perusahaan/BUMN Perkebunan; 4. Konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan; 5. Konflik antara masyarakat adat dengan transmigran perkebunan dan dengan perusahaan perkebunan yang mempekerjakan transmigran tersebut; 6. Konflik antara masyarakat dengan BPN akibat penerbitan HGU; 7. Konflik antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah yang menerbitkan izin lokasi; 8. Konflik antara perusahaan perkebunan dengan kementerian Kehutanan; 9. Konflik antara masyarakat adat vs migrant vs perusahaan HTI vs Kementerian Kehutanan (Kasus Mesuji). B.2. Tipologi berbasis pokok masalah: 1. Klaim penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; 2. Putusan pengadilan; 3. Konflik akibat tumpang tindih izin pertambangan, perkebunan, kehutanan dan pertanahan. C. Sebab Konflik Perkebunan Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga kategori, yaitu komunikasi, struktur dan variable pribadi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantic, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi yang melatarbelakangi terciptanya konflik. Selain komunikasi yang buruk, struktur juga dapat menjadi penyebab timbulnya konflik. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Hasil penelitan menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variable yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: system nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya individu yang sangat otoriter, dogmatic, dan menghargai rendah orang lian, merupakan sumber konflik yang potensial. Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata. Jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru hara, pemogokan dan sebagainya. Di dalam usaha perkebunan, konflik pertanahan merupakan permasalah utama yang dihadapi pelaku usaha. Di dalam Era reformasi yang ditandai dengan semangat demokratisasi dan transparansi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, membangkitkan keberanian masyarakat untuk menuntut penyelesaian atas apa yang dirasakannya sebagai suatu ketidakadilan walaupun terkadang tidak didukung oleh legalitas yang kuat. Terlebih lagi masalah ini juga ditunjang dengan semakin pentingnya arti tanah bagi penduduk. Pertumbuhan penduduk yang amat cepat baik melalui migrasi maupun urbanisasi, sementara jumlah lahan yang tetap menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi. Permasalahan lahan sekarang ini sudah merambah kepada persoalan social yang kompleks dan memerlukan pemecahan secara komprehensif. Perkembangan sifat dan subtansi kasus lahan tidak lagi hanya persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tetapi kompleksitas persoalan lahan tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia. Persoalan lahan juga masuk ke persoalan hukum pidana yakni persengketaan lahan yang disertai dengan pelanggaran hukum pidana (tindak pidana). D. Akar Konflik Perkebunan Sengketa/konflik pertanahan yang terjadi di masyarakat belakangan ini muncul dalam beragam bentuk. Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik pertanahan, sehingga perlu untuk diidentifikasi guna mencari jalan keluar atau bentuk penyelesaian yang akan dilakukan. Konflik perkebunan berkaitan dengan permasalahan lahan disebabkan beberapa hal: a. Pertambahan penduduk yang terus meningkat, sehingga lahan menjadi objek yang terus dirasakan semakin berkurang. Sehingga menimbulkan kegiatan okupasi dan tuntutan dari kelompok masyarakat. b. Peraturan perundang-undangan dipandang belum sepenuhnya mengatur tentang penyelesaian permasalahan pertanahan ini. Termasuk ketegasan pemerintah terhadap keberadaan tanah ulayat yang nyata harus diakui, dan perlunya ketegasan pemerintah terhadap tuntutan atas tanah ulayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan eksitensinya; c. Permasalahan lahan terkadang diselesaikan di ranah politik sehingga belum terpenuhinya kepastian hukum; d. Tumpang tindih atas alas hak kepemilikan lahan yang diterbitkan BPN. Disini terlihat bahwa BPN belum optimal dalam mengelola pendaftaran tanah; e. Dicabutnya Pasal 21 jo. Pasal 47 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga berkurangnya dasar hukum untuk memberikan sanksi terhadap pelaku yang menduduki lahan perkebunan. E. Upaya yang dilakukan Perusahaan Perkebunan dalam mencegah dan meminimalisir konflik Perkebunan. Beberapa kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan perkebunan dalam mencegah konflik perkebunan : a. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsbility) dengan tepat sasaran. Dengan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat di lingkungan sekitar perkebunan, maka diharapkan keberadaan perusahaan dimaksud menjadi penunjang pembangunan ekonomi masyarakat. b. Pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar perkebunan, baik berupa pola plasma maupun pola kemitraan lainnya seperti Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Kegiatan pembangunan kebun untuk masyarakat ini diharapkan mengurangi kesenjangan sosial, peningkatan ekonomi masyarakat. c. Rekruitmen tenaga kerja disekitar lingkungan perkebunan. Guna menjaga eksistensi perkebunan, rekruitmen ini tentunya tetap mengedepankan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan. F. Dampak Konflik Perkebunan terhadap Perusahaan Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa konflik perkebunan pada umumnnya berkaitan dengan konflik pertanahan. Dampak konflik ini terhadap perusahaan antara lain : 1. Penurunan pencapaian target produksi. 2. Berkurangnya aset perusahaan, jika konflik dimaksud berupa okupasi lahan. 3. Dampak dari penurunan pencapaian target produksi dan berkurangnya aset perusahaan sebagaimana di atas, dapat mengakibatkan pengurangan tenaga kerja. 4. Terciptanya hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dengan pihak yang mengokupasi atau dengan kelompok masyarakat yang menuntut (klaim) lahan. 3. PENUTUP Penyebab dari konflik perkebunan adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk, sehingga lahan yang menjadi landasan kehidupan dirasakan semakin berkurang. Disamping itu, peranan pemerintah sebagai regulator juga dipandang penting dalam penyelesaian konflik perkebunan, antara lain memantau pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsbility) dan turut berperan aktif dalam penyelesaian sengketa. Untuk menjamin kepastian hukum dalam penyelesaian konflik perkebunan, diharapkan segera diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang penyelesaian konflik perkebunan (lex specialis).