Total Tayangan Halaman

Minggu, 27 Desember 2009

KONSEPSI KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN DALAM PERUSAHAAN PERSEROAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik hukum menunjukkan bahwa pada dasarnya hanya subjek hukum yang berhak menjadi penyandang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu atau harta kekayaan tertentu. Subjek hukum tersebut adalah individu orang perorangan yang dinilai mampu untuk memiliki kecakapan untuk bertindak dalam hukum dan mempertahankan haknya di dalam hukum, dan badan hukum yang merupakan yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum guna memenuhi kebutuhan perkembangan kehidupan masyarakat. Ketentuan tersebut dapat ditemukan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 519 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Kepemilikan badan hukum atas harta kekayaan tertentu pada pokoknya bersumber dari harta kekayaan yang dipisahkan oleh orang perorangan secara khusus, yang diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan maksud dan tujuan badan hukum tersebut. Maksud dan tujuan pemisahan harta kekayaan tertentu untuk keperluan Perseroan terbatas berbeda halnya dengan maksud dan tujuan pemisahan harta kekayaan tertentu untuk pendirian yayasan, yang berbeda pula dari pemisahan harta kekayaan untuk keperluan dana pensiun.
Dengan dipisahkannya harta kekayaan tersebut oleh pemiliknya, yang dalam hal ini adalah orang perorangan, maka kepemilikan benda atau harta kekayaan yang dipisahkan tersebut beralih dari orang perorangan kepada badan hukum. Ini berarti orang perorangan tersebut sudah tidak lagi memiliki kewenangan mutlak atas benda atau harta kekayaan yang dipisahkan tersebut.
Suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan terbatas (PT) adalah Badan Hukum, konsekuensi hukumnya PT dipersamakan sebagai subjek hukum (person recht) yang memiliki kedudukan yuridis mandiri. Artinya, suatu PT dapat melakukan perbuatan hukum dalam lalu lintas harta kekayaan dan memperoleh hak serta tanggung jawab hukum terhadap perbuatan tersebut.
PT sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terlepas dari kekayaan pribadi pemegang sahamnya. Badan ini juga dapat menggugat dan digugat dihadapan pengadilan. Konsep mendasar badan hukum yang demikian seringkali disalahpahami masyarakat pada umumnya dan bahkan oleh praktisi hukum. Misalnya, dalam beberapa perkara korupsi di badan usaha milik negara (BUMN) yang berbentuk perusahaan Perseroan (Persero), kekayaan atau aset yang dimiliki oleh Perseroan dikategorikan sebagai kekayaan negara.
Landasan yuridis bagi PT di Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang saat ini telah diganti dengan Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Mengenai PT yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur pula melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Dalam Undang- Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dijelaskan bahwa perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN juga dipertegas bahwa Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Namun kenyataannya saat ini Persero tidak saja mengikuti ketentuan UU PT, bahkan masih terjadi kesalahpahaman oleh aparatur penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya. Hal ini berawal dari ketentuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hal lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Sedangkan Defenisi perusahaan negara pada UU Keuangan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat, sehingga kategori BUMN Persero masuk dalam defenisi tersebut.
Sehubungan dengan kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara termasuk dalam pengertian keuangan negara yang tercantum dalam UU Keuangan Negara, maka pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan korupsi adalah:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suratu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau, sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yand dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan kekayaan BUMN Persero, tidak terdapat pemisahan antara status negara sebagai penyelenggara pemerintahan dengan status sebagai pelaku usaha (investor) atau dengan kata lain dapat dikatakan investasi negara pada BUMN Persero tersebut belum diperlakukan sama sebagaimana halnya investasi swasta pada sebuah Perseroan Terbatas. Hal ini mengakibatkan permasalahan yang krusial melanda dikalangan perusahaan BUMN Persero, yang salah satunya adalah kualifikasi kerugian keuangan negara yang tidak jelas, apakah kesalahan dalam pengambilan keputusan ataupun akibat resiko bisnis yang menyebabkan perusahaan BUMN Persero mengalami kerugian termasuk kategori kerugian keuangan negara.
Permasalahan ini mengakibatkan sebagian Direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara dan ancaman tindak pidana korupsi.
Dalam masalah ini, diperlukan adanya pemisahan yang jelas mengenai status negara sebagai pelaku usaha dengan status negara sebagai penyelenggara pemerintah. Dengan adanya pemisahan tersebut maka terdapat kejelasan mengenai konsep kerugian keuangan negara. BUMN Persero sebagai salah satu bentuk badan usaha yang tujuannya mencari untung adalah badan hukum yang terpisah dan memiliki tangung jawab yang terpisah pula, walaupun dibentuk dan modalnya berasal dari keuangan negara dan kerugian satu transaksi atau kerugian dalam badan hukum tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara karena negara telah berfungsi sebagai badan hukum privat dan terhadap badan hukum tersebut berlaku juga ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas.
Dikaitkan dengan doktrin Business Judgement Rule yang merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan yang menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan Direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-hati. Dengan prinsip ini, Direksi mendapatkan perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan.
Berdasarkan Doktrin Business Judgement Rule, pertimbangan bisnis para anggota Direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak oleh pengadilan atau pemegang saham. Para anggota Direksi tidak dapat dibebani tanggungjawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota Direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Business Judgement Rule pada pokoknya mengasumsikan bahwa, dalam membuat suatu keputusan bisnis, Direksi dari suatu perusahaan bertindak atas dasar informasi yang dimilikinya, dengan itikad baik dan dengan keyakinan bahwa tindakan yang diambil adalah semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Doktrin ini pada prinsipnya mencegah campur tangan judisial terhadap tindakan Direksi yang didasari itikad baik dan kehati-hatian, dalam rangka mencapai tujuan perusahaan yang sah menurut hukum.
"Business Judgement Rule" dimaksudkan untuk memberikan dorongan bagi Direksi agar dalam melakukan tugasnya, tidak perlu takut terhadap ancaman tanggung jawab pribadi, dengan kata lain, Business Judgement Rule mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil risiko ketimbang terlalu hati-hati. Prinsip tersebut juga mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat keputusan yang lebih baik dalam bidang bisnis ketimbang Direksi. Sebab, para hakim pada umumnya tidak memiliki keterampilan kegiatan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.
Konsep doktrin Business Judgment Rule sebagaimana di atas juga sudah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang mengatur bahwa Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian tentang Konsepsi Kekayaan Negara yang Dipisahkan dalam Perusahaan Perseroan ditinjau dari beberapa ajaran hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.







B. Masalah Pokok
Bertolak dari latar belakang pemikiran yang diuraikan sebelumnya, maka melalui penulisan ini Penulis akan membahas beberapa masalah pokok yang terkandung penulisan ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Konsepsi Kekayaan Negara yang Dipisahkan dalam Perusahaan Perseroan.
2. Bagaimana Tanggung Jawab Direksi Badan Usaha Milik Negara Perusahaan Perseroan (Persero)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai Penulis melalui penelitian ini adalah :
a. Mengetahui Bagaimana Konsepsi Kekayaan Negara yang Dipisahkan dalam Perusahaan Perseroan.
b. Mengetahui Bagaimana Tanggung Jawab Direksi Badan Usaha Milik Negara Perusahaan Perseroan (Persero).

2. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh beberapa manfaat antara lain :
a. Sebagai masukan bagi pihak pemerintah, Direksi Badan Usaha Milik Negara Perusahaan Perseroan (Persero) maupun pihak legislatif dalam membuat suatu produk peraturan perundang-undangan.
b. Sebagai masukan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
c. Sebagai upaya memperkaya pemikiran tentang hukum dan pengembangannya di bidang hukum perusahaan terutama Badan Usaha Milik Negara Perusahaan Perseroan (Persero).

D. Kerangka Teori
Istilah Perseroan Terbatas (PT) yang digunakan dewasa ini, dulunya dikenal dengan istilah Naamloze Vennootschap disingkat NV. Bagaimana asal muasal digunakannya istilah Perseroan Terbatas dan disingkat dengan PT tidak dapat ditelusuri. Sebutan tersebut telah menjadi baku di dalam masyarakat bahkan juga dibakukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya UUPT No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) memberikan defenisi mengenai Perseroan terbatas sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 7 ayat (7) mengatur bahwa ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku lagi :
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Badan hukum adalah rekayasa manusia untuk membentuk suatu badan yang memiliki status, kedudukan, kewenangan yang sama seperti manusia. Oleh karena badan ini adalah hasil rekaya manusia, maka badan ini disebut sebagai artificial person.
Di dalam hukum istilah person (orang) mencakup mahluk pribadi, yakni manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (persona moralis, legal person, legal entity, rechtpersoon). Keduanya adalah subjek hukum, sehingga keduanya adalah penyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan perkataan lain, sebagaimana yan g dikatakan oleh J. Satrio, mereka memiliki hak/dan atau kewajiban yang diakui hukum.
Oleh karena badan hukum adalah subjek, ia merupakan badan yang independen atau mandiri dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut. Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri seperti manusia. Bisnis yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semua atas badan itu sendiri. Badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban-kewajiban hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri.
Nindyo Pramono menyatakan bahwa filosofi pendirian badan hukum adalah bahwa dengan kematian pendirinya, harta kekayaan badan hukum tersebut diharapkan masih dapat bermanfaat oleh orang lain. Oleh karena itu, hukum menciptakan suatu kreasi “sesuatu” yang oleh hukum kemudian dianggap atau diakui sebagai subjek mandiri seperti halnya orang (natuurlijk persoon atau natural person). Kemudian “sesuatu” itu oleh ilmu hukum disebut sebagai badan hukum (rechtpersoon atau legal person). Agar badan hukum itu dapat bertindak seperti halnya orang alami-ah, diperlukan organ sebagai alat bagi badan hukum itu untuk menjalin hubungan hukum dengan pihak ketiga.
Perseroan Terbatas sebagai korporasi (corporation), yakni perkumpulan yang berbadan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada dirinya, yakni:

1. Terbatasnya Tanggung Jawab
Pada dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian atau utang korporasi. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia kuasai. Selebihnya, ia tidak bertanggung jawab.
2. Perpetual Successio
Sebagai sebuah koporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak memiliki akibat atas status atau eksistensinya. Bahkan, dalam konteks PT, pemegang saham dapat mengalihkan saham yang ia miliki kepada pihak ketiga. Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan Perseroan yang bersangkutan. Bahkan, bagi PT yang masuk dalam kategori PT Terbuka dan sahamnya terdaftar di suatu bursa efek (listed), terdapat kebebasan untuk mengalihkan saham tersebut.
3. Memiliki Kekayaan Sendiri
Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh badan itu sendiri, tidak oleh pemilik atau pemegang saham. Ini adalah suatu kelebihan utama badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham.
4. Memiliki kewenangan kontraktual serta dapat menuntut dan dapat dituntut atas nama dirinya sendiri.
Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan.
Pasal 4 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, berbunyi
(1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
(2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Kapitalisasi cadangan;
c. Sumber lainnya.
(3) Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau Perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau Perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) bagi penambahan penyertaan modal negara dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau Perseroan terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”.
Salah satu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa kekayaan negara dipisahkan beralih menjadi kekayaan BUMN yang didirikan adalah Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi :
“Dalam hal pendirian BUMN dilakukan dengan mengalihkan unit instansi pemerintah menjadi BUMN, maka dalam peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimuat ketentuan bahwa seluruh kekayaan, hak dan kewajiban unit instansi pemerintah tersebut beralih menjadi kekayaan, hak dan kewajiban BUMN yang didirikan”.
Fatwa Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 Perihal Permohanan fatwa hukum, berbunyi sebagai berikut :
Menunjuk surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006 perihal tesebut di atas, dan setelah Mahkamah Agung mempelajarinya dengan dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi:
“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang yang sama menyatakan bahwa ”Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaanya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”;
2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;
3. Bahwa pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan :
“Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”;
4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan perbekalan dan persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara seabagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang BUMN dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960;
5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi:
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :
“g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”,
yang dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai ”kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum;
6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

E. Konsep Operasional
Untuk menyatukan pengertian dan pemahaman tentang penelitian ini, maka dirasa perlu untuk memberikan defenisi sebagai konsep operasi, terutama terhadap beberapa istilah yang digunakan dalam penelitan ini, antara lain sebagai berikut :

1. Perseroan Terbatas
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mendefenisikan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
2. Direksi
Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Menurut Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, berbunyi “Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan.
3. Dewan Komisaris
Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatahkan bahwa “Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
4. Badan Usaha Milik Negara
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa Badan usaha milik negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
5. Perusahaan Perseroan
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, berbunyi “Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”.
6. Keuangan Negara
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, berbunyi bahwa “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pasal 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menambahkan defenisi di atas yang berbunyi “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara;
d. Pengeluaran negara;
e. Penerimaan daerah;
f. Pengeluaran daerah
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
7. Kekayaan Negara yang Dipisahkan.
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 ayat 10 berbunyi : “Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta Perseroan terbatas lainnya”.
8. Pengertian Konsepsi adalah pengertian, pendapat.

F. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian normatif. Dalam penelitian hukum normatif titik berat penelitiannya tertuju pada sumber data sekunder yaitu sumber yang diperoleh dari berbagai dokumen dan bahan-bahan pustaka, dalam hal ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa Peraturan Perundang-undangan.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu data yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil tesis, disertasi, makalah yang disajikan dalam seminar, jurnal/majalah ilmiah yang terakreditasi, surat kabar, internet dan buku-buku literatur mengenai objek yang diteliti.
3. Bahan Hukum tertier, yaitu data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam hal ini adalah kamus hukum/bahasa, ensiklopedi yang berkaitan dengan objek penelitian.
Kegiatan analisa data mencakup penyajian data, interpretasi data, pembahasan dan pengambilan kesimpulan.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer disajikan sesuai dengan permasalahan yang dibahas serta hipotesis yang di rumuskan, setelah itu dilakukna interpretasi dengan metoda kontekstual, interpretasi menurut masalah yang dibahas sesuai dengan konteks hukum.
b. Selanjutnya dilakukan pembahasan terhadap bahan hukum primer tersebut dengan menggunakan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier sebagai acuan maupun bandingan.
c. Dari pembahasan diatas kemudian ditarik kesimpulan penelitian.